Mubaligh NU Pertahankan Bahasa Daerah

Sebagai organisasi masa Islam “tradisionalis”, NU sangat lekat dengan dakwah kultural. Dakwah dengan pendekatan budaya dan kearifan lokal sebagai media untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Islam. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para wali terdahulu hinga para ulama-ulama di masa sekarang. Terbukti berkat dakwah melalui pendekatan kultural tersebut, dalam jangka waktu yang tidak begitu lama, nilai-nilai Islam dapat masuk dan berkembang namun tetap selaras dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat setempat sebagaimana yang kita lihat di Nusantara ini.

Di antara kunci sukses para wali dalam berdakwah adalah melalui pendekatan bahasa lokal/bahasa daerah. Contohnya saja banyak karya sastra seperti syai’r, wawacan, suluk, pupuh atau lain sebagainya yang disusun dalam bahasa masyarakat setempat, menjadi media yang efektif untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.

Bahasa adalah kunci penting dalam komunikasi. Maka pendekatan bahasa adalah salah satu pendekatan yang paling efektif dalam berdakwah. Kemampuan seorang dai menyampaikan ajaran-ajaran agama ditinjau sejauh mana ia pandai membahasakan istilah-istilah agama agar dipahami oleh mustami’ atau pendengarnya.

Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki ratusan bahasa daerah yang tersebar di sepanjang kepulauan Nusantara. Ini selaras dengan firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 22 : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu…” Tentu ini merupakan anugerah Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Namun banyak diantara kita yang tidak menyadarinya. Di tengah era globalisasi ini bahasa daerah semakin terpinggirkan. Bahasa daerah dianggap bahasa kelas tiga setelah bahasa Nasional (Indonesia) dan bahasa asing. Padahal, bahasa daerah memiliki peran penting dalam proses Islamisasi di Nusantara ini. Andaikan dahulu para wali/penyebar agama Islam tidak menggunakan pendekatan bahasa dalam berdakwah, bisa jadi Islam tidak akan diterima dengan baik oleh masyarakat saat itu sehingga tidak akan menjadi agama mayoritas seperti saat ini.

Lantas, ketika Islam sudah menjadi agama mayoritas di Indonesia, apakah para dai khususnya, dan masyarakat umumnya, dengan begitu saja meninggalkan bahasa daerah dalam kegiatan keagamaan sehari-hari dengan dalih “sudah tidak relevan lagi”?

Tentu saja tidak. Alih-alih mengikuti perkembangan zaman, kita malah meninggalkan satu unsur penting kebudayaan sebagai identitas kita. Bukankan bahasa yang beragam (dalam konteks ini bahasa daerah) merupakan fitrah dari Allah SWT sebagaimana yang tercantum dalam Q.S Ar-Rum tadi ? Bahasa daerah memiliki posisi strategis dalam berkomunikasi (baca=berdakwah) kepada sebuah kelompok/kaum. Bahkan ditegaskan lagi dalam ayat lain “Dan tidak semata-mata kami utus para rasul melainkan dengan bahasa kaumnya, agar mereka dapat memberi penjelasan” (Q.S Ibrahim : 4). Jadi salah satu metode dakwah para rasul adalah menggunakan pendekatan “bahasa kaum”. Jika diterapkan dalam lingkup keindonesiaan, dakwah menggunakan bahasa daerah adalah langkah yang efektif serta sesuai dengan yang dilakukan para rasul-rasul Allah.

Bagi sebagian kalangan yang berpikir dalam kerangka identitas, bahasa daerah bukan sekadar bahasa tradisional belaka, melainkan lebih dari itu, yakni bahasa hati. Persoalan agama juga bukan hanya menyangkut ibadah ritual, tapi menyangkut persoalan spiritual. Oleh karena itu, ayat-ayat Allah atau nasihat-nasihat agama akan lebih mengena jika disampaikan dengan bahasa yang sesuai dengan hati pendengarnya.

Hemat penulis, sudah selayaknya para mubaligh NU turut andil dalam memelihara bahasa daerah pada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti tabligh akbar, khutbah jum’at, pengajian umum, dan sebagainya. Di samping menegakkan agama, kita juga memanifestasikan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan keberagaman kepada bangsa kita.

Oleh: Hagie Wana