Cerpen “Mudinah”

MUDINAH

“Pak, gimana ini? Mudin perempuan yang biasa kita mintai tolong untuk mandikan jenazah perempuan di desa kita habis kecelakaan. Keadaannya kemungkinan masih belum bisa jalan. Terlebih jarak dari desa beliau ke desa kita lumayan jauh”, kata Pak Yasak kepala Desa Mriyunan kepada Pak Mudin.

Mudin adalah sebutan bagi seseorang yang biasa mengurusi atau merawati jenazah mulai dari memandikan, membuatkan kain kafan, mengkafani, hingga jenazah siap dibawa ke pemakaman.

“Ya mau gak mau kita harus cari mudin perempuan lagi pak dari desa lainnya. Kasihan kalau jenazahnya dibiarkan cukup lama,” balas Pak Mudin.

“Dari pihak keluarga apa tidak ada yang bisa memandikan?” tanya Pak Lurah.

“Dari pihak keluarga pun mungkin hanya bisa membantu di bagian-bagian ringan. Tetap saja harus ada yang lebih mengerti dan tau ilmunya, Pak.” Sanggah Pak Mudin. Akhirnya, keduanya pun pergi ke desa sebelah menemui Bu Yati, mudin perempuan yang biasa membantu di desa Mriyunan.

Sesampainya di depan rumah Bu Yati, Pak Mudin segera mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terdengar jawaban salam dari arah dalam. Tak butuh waktu lama sampai muncul sosok laki-laki muda membukakan pintu.

“Bu Yati ada mas?” tanya Pak Mudin.

“Ada Pak. Tapi ibu belum bisa berjalan setelah kecelakaan kemarin”, balas pemuda tersebut.

“Mari, silakan masuk Pak” lanjutnya.

Pak Mudin dan Pak Lurah pun masuk ke ruang tamu.

“Kalau boleh tau, ada maksud apa ya Bapak-bapak kemari?”tanya pemuda tersebut.

“Jadi begini, tolong sampaikan ke ibumu, ada orang meninggal di desa Mriyunan. Kebetulan yang meninggal perempuan. Biasanya kami meminta tolong ibumu untuk merawat jenazah perempuan di desa kami. Kira-kira, apakah ibumu masih bisa membantu kami?” jelas Pak Lurah.

“Coba saya tanyakan ke ibu dulu ya, Pak”, jawab si pemuda. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah dan menemui ibunya. Selang beberapa menit kemudian, pemuda tersebut kembali ke ruang tamu dan menyampaikan pesan ibunya.

Nyuwun pangapunten[1] Bapak. Ibu belum bisa membantu karena kondisi ibu belum memungkinkan. Saran ibu, coba Bapak temui ibu Hidayah di desa Sidomulyo, kurang lebih 4 kilometer dari desa ini”, terang pemuda tersebut.

“Oh begitu ya, terima kasih nak. Sampaikan salam kami untuk ibumu. Semoga beliau lekas sembuh”, tutur Pak Lurah.

“Insya Allah, Pak, saya sampaikan”, balas si pemuda.

Kemudian Pak Mudin dan Pak Lurah bergegas menuju desa yang dimaksud Bu Yati tersebut. Sesampainya di Desa Sidomulyo, dengan bermodal tanya ke warga setempat, akhirnya keduanya berhasil menemui Bu Hidayah, ibu mudin di desa tersebut.

“Saya berkenan membantu Pak. Tapi, kondisi saya masih belum begitu pulih karena saya baru seminggu lahiran. Jadi, saya mau ada yang membantu.”, pinta Bu Hidayah.

“Insya Allah nanti ada yang membantu bu”, jawab pak Mudin.

Setelah bersiap-siap, Bu Hidayah pergi ke Desa Mriyunan diantar suaminya. Pak Lurah dan Pak Mudin pun melaju di depannya. Sesampainya di rumah duka, Pak Mudin pamit kepada Pak Lurah untuk mengambil seperangkat perlengkapan jenazah yang memang disimpan di rumah Pak Mudin. Perlengkapan jenazah tersebut sengaja ditempatkan di rumah Pak Mudin agar beliau lebih mudah menata keperluan jenazah juga karena istri beliau seorang penjahit, sehingga memudahkan beliau untuk memotong kain kafan sesuai ukuran yang dibutuhkan dan menjahit kain jika perlu menyambungnya.

“Bu, tolong siapkan kain kafan lima helai. Seperti biasa, untuk kain basahan, baju, tutup kepala, kerudung, dan kain besar ukuran 3 meter.  Talinya juga ya bu, jangan lupa. Ayah mau ambil daun bidara di lapangan dulu. Oia, sekalian kapur barus dan minyak wangi di lemari ruang tamu ya bu.”, pinta Pak Mudin kepada istrinya yang sedang menjahit di ruang tamu.

“Inggih Pak. Jadinya siapa yang mandikan jenazahnya? Bu Yati pak?”, tanya Bu Chum, istri Pak Mudin.

“Bu Yati masih belum pulih. Mudinnya Bu Hidayah dari dari Desa Sidomulyo, lima kilometer kalo dari sini”, jawab Pak Mudin.

“Jauh sekali dari Desa Sidomulyo” komentar istrinya.

“Iya bu. Coba ibu mau mandikan jenazah perempuan di desa kita. Kan, semua orang jadi gak kerepotan kalau ada jenazah perempuan yang meninggal”, terang Pak Mudin.

Bu Chum pun hanya terdiam tak membalas perkataan suaminya. Ia teringat sebulan yang lalu kejadian yang sama saat tetangga rumahnya ada yang meninggal. Kebetulan jenazahnya perempuan. Beruntung Bu Yati masih bisa menangani. Saat itu juga, suaminya memarahinya karena ia tak mau membantu prosesi perawatan jenazah karena takut. Bu Chum masih trauma dengan kejadian lima tahun lalu. Saat kakak iparnya meninggal, Bu Chum membantu proses memandikan jenazahnya. Padahal Bu Chum hanya membantu mengambilkan air. Setiap kali pergi ke kamar mandi, Bu Chum selalu berhalusinasi, merasa bahwa ada orang yang mengikutinya di belakang. Suaminya memarahi Bu Chum dengan nada cukup tinggi. Bu Chum masih ingat betul dengan perkataan suaminya, “Ibu ini bagaimana? Dimintai tolong membantu merawat jenazah kok gak mau. Ibu itu alumni pesantren. Mondok sudah berapa tahun? Ibu juga sudah tau, bagaimana hukumnya merawat jenazah. Ibu juga sudah pernah ngaji kitabnya. Lah, buat apa ibu ngaji setiap hari kalau ibu tidak mau mengamalkan? Cuma buat ngaji-ngajian aja. Ndak ada gunanya kalau ibu ngaji seperti itu”. Bu Chum hanya tertunduk malu mendengar kalimat-kalimat suaminya tersebut. Dalam batinnya ia menjerit keras, tapi bagaimana lagi, Bu Chum tetap saja tak berani.

“Oh ya, Bu Hidayah itu baru seminggu lahiran. Jadi butuh orang buat membantu beliau memandikan jenazahnya. Ibu mau ya membantu?” tanya Pak Mudin. Seketika, pertanyaan Pak Mudin tersebut menyadarkan Bu Chum dari lamunanya.

“I.. i.. ibu, Pak?” tanya Bu Chum memastikan.

“Iya, Bu. Kali ini Bapak tidak mau ibu menolak. Ibu itu sudah punya ilmunya. Kalau ibu menolak, Bapak akan sangat kecewa. Kita sama-sama alumni pesantren. Bapak, harus jawab apa kalau besok di hari kiamat Bapak ditanya, bagaimana Bapak membimbing istri Bapak. Membiarkan istri Bapak yang berilmu hanya diam menyembunyikan ilmunya di balik ketakutanya”, pinta Pak Mudin. Bu Chum pun tak kuasa mendengar kalimat suaminya. “Sudah, ibu segera siap-siap. Bapak mau ambil daun bidara dulu di lapangan. Lima belas menit lagi Bapak kembali.”, terang Pak Mudin sambil berlalu membawa pisau dan clurit untuk mengambil daun bidara.

Tak terasa, butiran bening itu mengalir di ujung mata Bu Chum. Butiran tersebut tak lagi terbendung. Bu Chum merasa malu dengan dirinya sendiri. Bu Chum teringat masa-masa masih di ponpes Al Khozini, Buduran, Sidoarjo. Bahkan di awal kedatangan beliau pun, tepatnya seminggu setelah beliau masuk ke pondok tersebut, beliau sudah dipercaya Bu Nyai Nafisah, pengasuh Ponpes Putri Al-Khozini untuk mengajar di sana. Bagaimana tidak, Bapak Bu Chum adalah seorang Kyai kampung. Setiap hari, rumahnya tak pernah sepi dari lalu lalang santri-santri Bapaknya. Tak heran bila Bu Chum pun sudah bisa membaca kitab kuning sebelum masuk pesantren. Setahun kemudian beliau ditunjuk sebagai Lurah Pondok Putri. Hampir setiap Bu Nyai Nafisah tindak[2] kemana-mana, Bu Chum diutus untuk nderekke[3] beliau. Tapi sekarang, hanya karena rasa takut itu, seolah-olah Bu Chum adalah orang yang tak tau atau bahkan pura-pura tidak tau tentang kewajiban merawat jenazah. Bu Chum pun menangis sambil memotong kain kafan sepanjang tiga meter. Air matanya baru berhenti saat mendengar suara sepeda motor suaminya. Bu Chum cepat-cepat menghapus air matanya dan melipat lima helai kain kafan tersebut.

“Sudah selesai bu?”, tanya Pak Mudin.

“Belum Pak, ibu baru selesai motong kainnya. Kurang kapur barus dan minyak wangi masih di lemari ruang tamu”, jawab Bu Chum.

“Yasudah, ibu cepet beberes diri, biar Bapak yang siapkan kapur barus dan minyak wanginya.” Jelas Pak Mudin. Bu Chum pun tak berani membantah. Beliau langsung berdiri kemudian menuju kamar mandi untuk berwudlu kemudian ganti baju.

“Sudah siap bu? Jangan lama-lama, ndak enak sama orang-orang”, kata Pak Mudin.

“Sudah Pak”, jawab Bu Chum. Hatinya masih terus berdegup kencang sepanjang dibonceng suaminya naik sepeda motor. Terlihat mulutnya berkomat-kamit sepanjang jalan. Bahkan sampai tiba di depan rumah duka, terdengar desahan berat. “Ya Allah, Panjenengan tulungi kulo[4], Laa haula wa laa quwwata illaa billah”, suara lirih itu terdengar samar tapi berat. Samar karena tercampur suara bacaan surah Yaasiin yang sedang dibacakan para pelayat. Berat karena Bu Chum butuh kekuatan besar dari Allah untuk menghadapi suatu hal setelah ini.

Monggo[5], Bu, Pak, sudah ditunggu Bu Hidayati dari tadi”, kata Pak Lurah.

Bu Chum pun hanya manggut sambil berjalan masuk rumah duka, Pak mudin yang menjawab kalimat Pak Lurah. Di dalam ruang tengah sudah berkumpul dua putri jenazah berusia sekitar 36 tahun dan 25 tahun, Bu Hidayah, dan 5 orang ibu-ibu yang sedang sibuk meronce bunga. Bu lurah ada di antara lima orang ibu-ibu tersebut. Kemudian Bu lurah menghampiri Bu Chum dan berkata, “Alhamdulillah, akhirnya Bu Mudin mau memandikan jenazah”. Bu Chum pun hanya tersenyum kecut. Kemudian, Bu Hidayah, Bu Chum, dan dua orang putri jenazah bergegas menyiapkan peralatan mandi mayit. Kini, giliran jenazah akan dibawa ke tempat pemandian di samping rumah duka. Tubuh Bu Chum bergetar hebat, terasa jantungnya berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat dari normal. Dalam pikiran Bu Chum, hanya teringat pesan Bapaknya yang kapan hari menemui beliau dalam mimpinya. “Kabeh ki kudu dijalukno pitulung marang Gusti Allah. Sing akeh moco Laa haula wa laa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim[6]”, pesan Bapak beliau dalam mimpi tersebut. Mulut Bu Chum tak berhenti membaca kalimat tersebut, kadangkala berganti membaca sholawat. Terlihat jelas raut muka Bu Chum. Memutih, bercampur keringat dingin. Bagaimanapun, Bu Chum harus tetap berusaha melawan ketakutannya demi tersampaikannya ilmu yang selama ini beliau pelajari. Tak henti-hentinya beliau meminta pertolongan kepada Allah untuk menguatkan beliau, menjadikan beliau orang yang bermanfaat di antara banyak manusia meskipun dengan hal yang mungkin dianggap sebelah mata oleh sebagian orang, tapi mulia di mata Allah.

Tangan Bu Chum bergerak memiringkan tubuh jenazah dengan izin Allah. Keempat orang tersebut bersama-sama menggotong jenazah dari ranjang kamar ke tempat pemandian jenazah. Di sana sudah disiapkan amben setinggi lutut orang dewasa, bak berisi air dan gayung, juga pipa yang bisa di atur kecepatan aliran airnya, serta seember air berisi campuran daun bidara, bunga mawar, dan dedauan wangi lainnya.

Detak jantung Bu Chum jelas terdengar berdetak lebih dibanding sesaat setelah beliau berlari. Hatinya bergemuruh ketika melihat tubuh kaku terbaring di atas dipan. Wajah memucat, kaku, tapi tak berdaya. Digerakkan ke kanan, ia hanya diam. Digerakkan ke kiri, ia hanya diam. Didudukkan, dimiringkan, dilepaskan pakaiannya, ditekan-tekan perutnya, diguyur air pun ia hanya diam bahkan matanya juga masih terpejam. Dilap dengan kain, ditutup kain jarik seluruh tubuhnya, ia pun tak marah. Bahkan ketika telinga dan hidungnya disumbat dengan kapas, dia tak melawan. Terakhir, seluruh tubuhnya dibungkus dengan kain berwarna putih dengan empat ikatan, di atas kepalanya, di perut, di lutut, dan di bawah kakinya, ia sedikitpun tak meronta.

“Sedemikiankah keadaan orang meningga?”, batin Bu Chum. “Betapa manusia lemah tak berdaya, tak ada kuasa, bahkan untuk sekedar bilang “pelan-pelan bu” saat aku memandikannya.”

Diceritakan dalam sebuah kitab Daqooiqul Akhbar[7], bagaimana keadaan lain si mayyit setelah dicabut dari jasadnya. Merasakan tapi tak mampu mengungkapkan, melihat tapi tak mampu dilihat, mendengar tetapi tak mampu didengar, berteriak tapi tak ada guna. Menanti saat-saat diantarkan ke liang lahat dengan bahagia jika dia seorang yang sholeh. Menjerit tak karuan saat mau diantar ke liang lahat jika dia bukan seorang yang dholim.

Semenjak itu, keyakinan Bu Chum bertambah bahwa dengan keadaan ini beliau akan belajar dan bermuhasabah lebih banyak. Dengan membantu merawat jenazah, akan memudahkan sesama saudara muslimahnya untuk cepat-cepat beristirahat di alam barzah. Ikut mendo’akan semoga jenaazah chusnul khotimah dan terbebas dari siksa kubur. Dari sini, Bu Chum berharap, semoga ada amal yang kelak juga menyelamatkan belaiu dari siksa kubur dan murka Allah. Juga selamat dari pertanyaan-pertanyaan di akhirat kepada suami, para guru, dan dirinya karena ilmunya sudah diamalkan.

Mulai hari itu, pekerjaan sebagai tukang memandikan jenazah atau biasa disebut Mudin ia jalani. Lebih tepatnya, jika menurut kaidah bahasa Arab adalah Mudinah karena Bu Chum adalah perempuan. Bu Chum memilih melakukannya semata-mata karena untuk ibadah dan menolong orang.

Sejak saat itu, ada banyak jenazah yang Bu Chum mandikan. Mulai dari jenazah korban pembunuhan, jenazah korban bencana alam, korban tabrak kereta yang hilang kepalanya, hingga jenazah yang sudah tak utuh bagian tubuhnya. Bagi Bu Chum, sebenarnya semua jenazah manusia itu sama. Meskipun dalam kondisi buruk sekalipun. Terlebih lagi, Bu Chum menjadi terbiasa mencium bau mayat yang sudah membusuk dan dikerubungi belatung. Apapun kondisinya, tugasnya harus tetap diselesaikan.

Bu Lurah berkomentar setelah beliau ikut membantu Bu Chum memandikan jenazah. “Sudah Bu Chum, saya mantap dengan Panjenengan. Memang lulusan pesantren seperti Panjenengan harusnya ada di mana-mana. Memang beda antara orang berilmu melakukan sesuatu dengan yang tidak berilmu. Manfaat lulusan pesantren nusantara memang nyata.”, kata Bu Lurah. Bu Chum pun  tersenyum dan berkata, “Alhamdulillah Bu. Do’akan kami para santri, chusnul khotimah”.


DATA PENULIS

IDLOHATUD DILALAH

Ponpes Inayatullah

Jalan Monjali 20, Nandan, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, 55581

E-mail: [email protected], HP. 085732749881

[1] Mohon maaf

[2] pergi

[3] mengiringi, menemani, mengantarkan

[4] Mohon Engkau tolong saya

[5] mari

[6] Semua hal itu harus dimintakan tolong kepada Allah. Perbanyak membaca Laa haula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim

[7] Salah satu nama kitab yang dipelajari di pesantren. Berisi cerita-cerita kematian dan keadaan seseorang setelah mati

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *